Parah, Ungkap Sejumlah Oknum Jaksa Nakal Terlibat Dugaan Kriminalisasi, Jampidum Malah Maki – Maki Wartawan di Pertemuan Diruang Rapat Pidum Kejagung

Laskarmedia.com Jakarta- Jaksa Agung Republik Indonesia, Prof Dr Sanitiar Burhanuddin, bersama Komisi III DPR, dan jajaran Aparat Penegak Hukum (APH) diminta bertindak tegas kepada para oknum Jaksa dan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum), Fadil Zumhana, dikarenakan diduga memaki-maki wartawan dan mengancam mempidanakan wartawan yang memberitakan kebobrokan sejumlah oknum Jaksa dalam penanganan perkara dugaan kriminalisasi hukum.

 

Bambang Djaya, yakni adik kandung Terlapor Herman Djaya, bersama Tim Kuasa Hukum Sofian Herianto Sianiar dan kawan-kawan dari MAR Lawfirm, yang datang ke pertemuan dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana dan jajarannya di Kantor Jampidum Kejaksaan Agung pada Kamis pagi (09/03/2023), mengaku kaget dengan sikap Jampidum Fadil Zumhana dan para Jaksa di ruang Rapat Jampidum itu.

 

Bambang Djaya mengatakan, Jampidum Fadil Zumhana memaki-maki wartawan yang memberitakan kebobrokan kinerja para oknum Jaksa yang menangani kasus Azis Wellang vs Herman Djaya.

 

Jadi, awal maki-maki dan mengancam wartawan itu, dibeberkan Bambang Djaya, pihak Terlapor yakni kakek berusia 80 tahun bernama Herman Djaya, diinformasikan secara informal atau tanpa ada surat resmi bahwa akan digelar pertemuan oleh Jaksa dengan para pihak di Ruangan Rapat Jampidum.

 

“Kami diinformasikan secara lisan, disuruh untuk wajib datang ke pertemuan di Jampidum pada Kamis pagi. Yang hadir adalah pihak Pelapor yakni Azis Wellang dengan timnya, dan kami dari pihak Terlapor atas nama Bapak Herman Djaya. Klien kami sudah sepuh dan sedang sakit, maka kami Kuasa Hukumnya yang datang menghadiri pertemuan itu,” ungkap Bambang Djaya, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (10/03/2023).

 

“Mana… mana orangnya? Mana Si Wartawan yang nulis-nulis berita itu? (Menyebut nama seorang wartawan). Wartawan itu tidak ngerti dan tidak paham kinerja Jaksa. Kalian, jangan ngomong-ngomong ke wartawan. Gak ngerti itu. Begitu kira-kira ucapan Jampidum ketika kami baru masuk ke ruang rapat dan baru mau mulai pertemuan,” ungkap Bambang Djaya.

 

Mendengar Jampidum Fadil Zumhana mulai menyerang wartawan, seorang Jaksa lainnya, merasa didukung oleh bosnya, Jampidum Fadil Zumhana, turut memberikan ancaman kepada wartawan yang memberitakan kejanggalan penanganan kasus Herman Djaya itu.

 

“Kalau enggak salah, nama Jaksa itu Narji Bakri kurang jelas. Dia bilang, jangan sebarkan dan jangan viralkan. Jangan bikin di Youtube, sebab saya bisa melaporkan dan mempidanakan dengan ancaman pidana 9 tahun penjara. Begitu kata Jaksa itu. Ya kami diam saja,” terang Bambang Djaya.

 

Bambang Djaya bersama Tim Kuasa Hukum Sofian Herianto Sianipar dan kawan-kawannya protes dengan pertemuan yang diduga dirancang untuk menekan kliennya agar menerima proses-proses yang sudah dilakukan Penyidik Mabes Polri dan Jaksa di Pidum Kejaksaan Agung.

 

“Kami tidak terima. Dan kami tidak setuju dengan cara-cara yang dilakukan Penyidik dan Jaksa. Sebab, banyak sekali kejanggalan dan pelanggaran prosedur mau pun substansi yang dilakukan oknum Penyidik dan oknum Jaksa dalam kasus yang dialami Pak Herman Djaya,” tegas Bambang Djaya.

 

“Agenda pertemuan ini pun kami tahu secara lisan. Klien kami pun tidak mendapat surat pemberitahuan resmi. Juga, kami pertanyakan agenda pertemuan ini untuk apa? Katanya untuk mengkonfrontir. Kok kami mau sampaikan sejumlah data dan fakta atau bukti-bukti dari klien kami pun tak boleh,” lanjut Bambang Djaya.

 

Bambang Djaya membeberkan, Herman Djaya dilaporkan oleh Pelapor bernama Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 silam. Atas dugaan pemalsuan surat.

 

Namun, obyek atau hal yang dilaporkan Azis Wellang itu tidak dapat dihadirkan. Sehingga Jaksa yang menangani laporan itu yakni Jaksa bernama Rauf, menyatakan kasus itu tidak bisa dilanjutkan. Dan sudah sebanyak 3 kali berkas P-19, akhirnya ditolak.

 

“Lalu pada bulan Januari 2023 lalu, kok tiba-tiba sudah langsung P-21 aja. Aneh proses ini,” ujarnya.

 

Kemudian, lanjut Bambang Djaya, abangnya Herman Djaya mendapat surat yang diduga bodong, yaitu surat meminta kepada Penyidik Mabes Polri untuk melanjutkan kembali kasus atau laporan Azis Wellang tersebut dari Jaksa.

 

“Surat itu tidak ada tanggalnya, tidak ada kop surat Kejaksaan, tidak ada tanda tangan atau stempel basah, yang ada adalah nama-nama sejumlah Jaksa yang tertera di surat tersebut,” ungkapnya.

 

Nah, kata dia, keanehan-keanehan proses itu yang diberitakan wartawan. Dan meminta kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, dan kepada Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, untuk melakukan proses kepada para Jaksanya agar tidak menuntut orang yang tidak bersalah yakni Herman Djaya, atas laporan tidak jelas dari seseorang yang bernama Azis Wellang.

 

“Nah malah wartawannya yang dimaki-maki dan diancam-ancam oleh Jaksa. Kami di dalam rapat kemarin, pesertanya adalah puluhan Jaksa, ada Jampidum Fadil Zumhana, kemudian Si Pelapor Azis Wellang, dan kami tim kuasa dari Pak Herman Djaya,” tutur Bambang Djaya.

 

Dalam pertemuan itu, lanjut Bambang Djaya, sangat jelas sekali keberpihakan Jampidum Fadil Zumhana kepada para oknum Jaksa, untuk melindungi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi dan yang dilakukan oleh para oknum Jaksa.

 

“Katanya, P-21 itu sudah kuat dan sudah jelas. Jaksa tidak pernah salah dalam hal ini, dan Jaksa tidak pernah melakukan persuratan ilegal. Padahal, kami hendak sampaikan beberapa bukti kuat dan fakta-fakta, malah dilarang, enggak boleh disampaikan di pertemuan. Lah, lalu untuk apa pertemuan itu? Kalau sudah settingan mereka semua? Masa kami diundang, lalu kami tak boleh sampaikan fakta-fakta dan bukti-bukti kesalahan yang dilakukan oknum penyidik dan oknum jaksa dalam menangani kasus ini? Aneh,” jelas Bambang Djaya lagi.

 

Karena itu, jika sekelas Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, pun sudah tidak bisa membuat clear dan jelas persoalan, maka masyarakat pencari keadilan seperti kepada Herman Djaya, pasti akan terus-terusan jadi korban.

 

“Urusan ini sudah 12 tahun lebih, sudah mau 13 tahun, enggak selesai-selesai. Persoalan jual beli tanah, yang korbannya adalah klien kami, malah dilapor ke Bareskrim jadi Pidana. Sayangnya, Jaksa pun mengiyakan bahwa ini Pidana. Kalau begini caranya, sampai kapan pun masyarakat takkan percaya dengan Polisi dan Jaksa,” tegas Bambang Djaya.

 

Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, mengaku dilapori oleh anak buahnya bahwa laporan itu sudah valid dan sudah sesuai prosedur.

 

Padahal, kepada Jaksa Agung Burhanuddin dan kepada Jampidum Fadil Zumhana, sudah dimohonkan juga Surat Perlindungan Hukum oleh kakek Herman Djaya. Lengkap dengan sejumlah informasi dan fakta-fakta mau pun bukti-bukti, bahwa dirinya tidak pernah melakukan pidana seperti yang dilaporkan.

 

“Dia itu residivis, pernah dihukum percobaan,” ujar Jampidum Fadil Zumhana.

 

Atas pernyataan Jampidum Fadil Zumhana itu, Kuasa Hukum Herman Djaya, Sofian Herianto Sianipar mengatakan, bahwa kliennya Herman Djaya tidak pernah melakukan pidana.

 

“Itulah kriminalisasi yang sudah dialami oleh klien saya sejak awal. Pak Herman Djaya dipidanakan dengan hukuman percobaan. Yang pada waktu itu, belum kami kuasa hukumnya, dalam persidangan menurut Pak Herman Djaya, dirinya tidak pernah dimintai keterangan oleh Jaksa dan tidak pernah dihadirkan untuk menyampaikan pembelaan, bahkan di persidangan pun, Herman Djaya tidak diperbolehkan bersaksi dan bersidang. Lalu, dipaksakan ketuk palu, divonis hukuman percobaan. Apakah ini yang disebut keadilan? Ini kriminalisasi hukum Pak,” tegas Sofian Sianipar.

 

Sofian Herianto Sianipar juga menegaskan, adanya Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kapolri, yang menjelaskan bahwa jika sampai 3 kali ada berkas P-19, maka kasus itu harus dihentikan.

 

Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kapolri itu adalah Nomor 099/KMA/SKB/2010, Nomor: M.HH-35.UM.03.01 TAHUN 2010, Nomor: Kep-059/A/JA/05/2010, dan Nomor: B/14/V/2010, tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana Dalam Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan.

 

“Di dalam pertemuan itu, kami sudah menyampaikan apa saja yang menjadi alasan hukum untuk meminta kepada Jampidum perkara klien kami ditinjau ulang tahapan P-21-nya, namun Jampidum menyampaikan bahwa sudah tidak ada upaya itu karena berkas sudah Lengkap. Silakan nanti disampaikan di Pengadilan apa yang menjadi keberatan. Demikian dikatakan Jampidum dalam pertemuan itu,” tutur Sofian Herianto Sianipar.

 

Sofian Herianto Sianipar juga menegaskan, proses P-21 yang dinyatakan Jaksa kepada kliennya Herman Djaya, ternyata tidak terpenuhi unsur-unsurnya.

 

“Kami mempertanyakan upaya P-21 itu. Karena dalam perjalanan, P-19 terjadi perubahan poin-poin Petunjuk yang harus dilengkapi oleh Penyidik. Misalnya, Petunjuk dalam P-19 pertama tidak terpenuhi, kok kemudian diubah petunjuknya. Apakah hal tersebut sesuai dengan SOP atau tidak? Kemudian, ada peristiwa hukum dilakukan P-19 sebanyak 3 kali. Yang mana, berdasarkan Surat Keputusan Bersama atau SKB antara Ketua Mahkamah Agung, Menkumham, Jaksa Agung dan Kapolri, perkara tersebut tidak layak untuk dilanjutkan. Atau, segera harus dihentikan,” Tandas Sofian Herianto Sianipar.

 

Sebelumnya, kakek Herman Djaya, mengaku mengalami kriminalisasi mafia hukum dan mafia tanah. Herman Djaya berhadapan dengan terduga mafia hukum dan mafia tanah, Muhammad Andi Azis Wellang alias Andi Azis Wellang alias Azis Wellang.

 

Herman Djaya yang kini berusia 80 tahun itu, mengungkapkan, sudah 13 tahun ini dirinya dikriminalisasi oleh Azis Wellang melalui praktik-praktik mafia hukum dan mafia tanah yang berkolaborasi dengan oknum Polisi dan oknum Jaksa, oknum petugas BPN bahkan hingga oknum Hakim Agung di Mahkamah Agung.

 

“Saya pernah melaporkan Azis Wellang ke Polres Jakarta Pusat pada tahun 2016. Tentang Pasal 372 dan Pasal 378 KUHP. Dan kemudian berkasnya dinyatakan lengkap atau P-21 di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Namun aneh, kok sampai sekarang di tahun 2023 ini, Azis Wellang malah lepas dan bebas berkeliaran?” ungkap Herman Djaya kepada wartawan, Sabtu (04/03/2023) lalu.

 

Herman Djaya sangat menyayangkan kinerja oknum penyidik Kepolisian dan oknum Jaksa yang malah diduga berkolaborasi dengan Azis Wellang untuk mengkriminalisasi dirinya.

 

“Sebab, giliran laporan bodong, atau laporan tak berdasar mengenai dugaan pemalsuan surat yang dilakukan Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 silam, malah ditindaklanjuti, dan kini saya ditetapkan tanpa bukti sebagai Tersangka. Berkasnya katanya sudah lengkap atau P-21 di tangan Jaksa. Aneh sekali mereka ini,” tutur Herman Djaya.

 

Herman Djaya membandingkan, laporannya terhadap Azis Wellang di Polres Jakarta Pusat pada tahun 2016 silam adalah mengenai Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sudah sempat sampai berkasnya dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus).

 

Pasal 372 KUHP berbunyi : Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

 

Sedangkan ketentuan Pasal 378 KUHP menerangkan bahwa, yang dimaksud dengan penipuan adalah kondisi yang dilakukan oleh siapa pun dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau pun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

 

“Berkasnya sudah P-21 di Kejari Jakarta Pusat. Tapi sampai kini lepas dan tidak ada tindak lanjut. Azis Wellang tetap bebas melenggang,” ujarnya.

 

Sedangkan laporan Azis Wellang kepada Herman Djaya pada tahun 2017 silam di Bareskrim Polri, kok bisa ditindaklanjuti dan malah dinyatakan lengkap atau P-21 secara bodong?

 

Pasal 263 KUHP merupakan delik sengaja, baik perbuatan sengaja maupun sengaja sebagai maksud dan tidak ada delik kelalaian (culpa) dalam pemalsuan surat.

 

“Saya melaporkan Azis Wellang dan kaki tangannya yang bernama RD Arief B Perlambang alias Buce Perlambang pada tahun 2016 silam di Polres Jakarta Pusat. Dengan pasal 372 dan pasal 378 KUHP. Mereka bersekongkol menipu dan menggelapkan uang saya, untuk pembelian tanah di Kebon Kosong, Tanah Abang, Jakarta Pusat,” terang Herman Djaya.

 

“Karena itu, sekarang, saya memohon kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak Burhanuddin, dan kepada Jampidum, Bapak Fadil Zumhana, agar memberikan perlindungan hukum kepada saya, dan juga agar saya diberikan bantuan hukum dan penyelesaian persoalan saya yang sudah berlarut-larut hingga 13 tahun ini,” terang Herman Djaya lagi.

 

Herman Djaya, seorang kakek berusia 80 tahun, meminta perlindungan hukum kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin.

 

Herman Djaya yang kelahiran 10 Maret 1944 di Banyuwangi, Jawa Timur, mengaku, dirinya sudah 13 tahun ini mengalami kriminalisasi hukum dari oknum penyidik Polisi hingga oknum Jaksa, bahkan oknum Hakim Agung di Mahkamah Agung.

 

Yang terbaru, diungkapkan Herman Djaya, pada 26 Januari 2023, dirinya tiba-tiba saya menerima Surat P-21 sehubungan dengan adanya laporan seseorang bernama Muhammad Andi Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 silam.

 

Juga ada surat yang disebut sebagai inisiatif Jaksa yang meminta kepada Penyidik Bareskrim Polri akan melanjutkan penanganan laporan itu, dan akan membuat P-21.

 

Surat yang berisi melanjutkan permintaan Jaksa untuk penanganan laporan Azis Wellang itu, menurut Herman Djaya, diduga adalah palsu atau bodong, yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum antara lain Alviand Deswaldy, S.H., (Jaksa Pratama Utama), Deddy, S.H. M.H., (Jaksa Madya), Hevben, S.H., M.H., (Jaksa Muda) dan Drs. Joko Purwanto, S.H., (Jaksa Utama Muda) selaku Penuntut Umum.

 

“Suratnya menurut saya tidak tepat, sebab tidak memiliki keabsahan legalitas dari institusi Kejaksaan, tidak ada tanggal surat, tidak pakai kop surat, dan tidak ditandatangani dengan cap basah resmi pimpinan Kejaksaan Agung,” tutur Herman Djaya kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (04/03/2023).

 

Padahal, diungkapkan Herman Djaya, laporan dugaan pemalsuan yang dilakukan oleh seseorang bernama Muhammad Andi Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 itu, seharusnya sudah selesai.

 

Sebab, dalam laporan tersebut, seseorang yang bernama RD Arief B Perlambang alias Buce Perlambang, yang diketahui juga sebagai kaki tangan Azis Wellang, yang dilaporkan dan dipidanakan atas dugaan pemalsuan sertifikat tanah di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

 

“Terakhir kali saya dimintai keterangan atas laporan itu adalah pada tahun 2017 silam itu. Dan waktu itu, saya menjelaskan, saya tidak melakukan pemalsuan, dan saya tidak ada sangkut pautnya dengan laporan itu. Semua sudah dibuktikan di Pengadilan. Dan Buce, yakni orang suruhan Azis Wellang sendiri yang masuk penjara waktu itu,” tutur Herman Djaya.

 

Berdasarkan Surat Laporan di Bareskrim, Herman Djaya dilaporkan oleh seseorang bernama Azis Welang dengan laporan BARESKRIM No.B/292/SUBDIT-I/XIII/2017/Dittipidum, tanggal 08-12-2017.

 

Yang menjadi Penyidik yang menindaklanjuti laporan Azis Wellang ini adalah Iptu Azis Riyanto ,S.H., M.H., dan Ipda Iwan Santoso, S. H.

 

“Saya menolak jika dituduh melakukan pemalsuan. Dan saya tidak terlibat atas laporan yang ditujukan kepada saya. Dan bahwa sudah ada pengakuan orang yang melakukan seperti laporan tersebut adalah seseorang bernama RD Arief B Perlambang alias Buce Perlambang,” beber Herman Djaya.

 

Kemudian, lanjutnya, waktu itu Jaksa yang menangani laporan itu adalah Jaksa bernama Rauf, yang diketahui saat ini sudah dipindah ke bagian Pidana Militer di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

 

Pada saat itu, lanjut Herman Djaya, Jaksa Rauf pun sudah tiga kali mengembalikan berkas P-19 ke Bareskrim Polri, karena berkas itu dianggap tidak layak untuk diteruskan.

 

“Pak Rauf yang jadi Jaksa waktu itu, sudah 3 kali mengembalikan berkas ke Penyidik. Katanya, berkas itu tak layak menjadikan saya sebagai Tersangka, dan tak bisa dilanjutkan. Harusnya dihentikan oleh Penyidik, atau di-SP3. Sebab, menurut Jaksa Rauf, laporan Azis Wellang itu tidak jelas objeknya, dan tidak ada bukti objek yang dilaporkan oleh Azis Wellang,” tutur Herman Djaya.

 

Namun, kata dia lagi, sepertinya Azis Wellang dan kaki tangannya tidak berhenti untuk mempersoalkan Herman Djaya, dan terus-terusan mengupayakan kriminalisasi hukum kepada dirinya.

 

“Nah, sejak tahun 2010 silam, saya terus-terusan dikriminalisasi oleh Azis Wellang melalui para oknum penyidik dan oknum Jaksa, oknum BPN, bahkan sampai ke Mahkamah Agung,” lanjutnya.

 

Herman Djaya juga memastikan, semua urusan kepemilikan jual beli tanah yang dipersoalkan Azis Wellang di Tanah Abang, Jakarta Pusat itu, sudah diuji dan diadili mulai Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan hingga ke Mahkamah Agung (MA), dengan putusan kasasi pertama, yang menyatakan Herman Djaya adalah pemilik sah dari tanah tersebut.

 

Kemudian, lanjutnya, pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sudah memerintahkan jajarannya agar segera mengubah kepemilikan tanah itu menjadi milik Herman Djaya.

 

“Bagaimana mungkin semua putusan dari Pengadilan itu palsu? Itu putusan pengadilan, putusan Negara loh. Namun, sayangnya, oknum di BPN Jakarta Pusat, tak kunjung melaksanakan eksekusi putusan-putusan itu. Sepertinya mereka menunggu arahan Azis Wellang saja,” tutur Herman Djaya.

 

Herman Djaya yang merupakan warga Jakarta yang tinggal di Jalan Pulo Mas VI C/10, RT 008/RW 01, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, mengaku sedih dengan perlakuan para oknum Aparat Penegak Hukum (APH) kepada dirinya selama 13 tahun ini.

 

“Saya kurang tahu motivasi mereka. Apakah mau memeras saya? Apakah mau mengintimidasi saya? Apakah mau mengancam saya dengan cara-cara yang sangat jauh dari keadilan itu?” ujarnya.

 

Maka, lanjutnya, ketika dirinya menerima Surat P-21 yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum antara lain Alviand Deswaldy, S.H., (Jaksa Pratama Utama), Deddy, S.H. M.H., (Jaksa Madya), Hevben, S.H., M.H., (Jaksa Muda) dan Drs Joko Purwanto, S.H., (Jaksa Utama Muda) selaku Penuntut Umum, sungguh membuat dirinya kaget.

 

“Saya tidak pernah dikomunikasikan dan tak pernah dimintai keterangan lagi sejak tahun 2017 silam. Kok bisa tiba-tiba ada Surat P-21 kepada saya? Saya kok terus-terusan dikriminalisasi?” ujar Herman Djaya lagi.

“Saya sudah memasuki usia 80 tahun sekarang. Saya sudah tua. Jangan saya diperlakukan seperti ini. Saya jangan dikriminalisasi,” ujarnya lagi.

 

Herman Djaya yang merasa dikriminalisasi sejak awal adanya perkara ini memohon kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, dan juga kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, agar kiranya diberikan perlindungan hukum, dan diberikan keadilan serta hak-haknya sebagai Warga Negara Republik Indonesia yang menjadi korban dugaan kriminalisasi selama ini.

 

“Saya memohon Perlindungan Hukum kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak ST Burhanuddin. Saya memohon perlindungan hukum kepada Jampidum Bapak Fadil Zumhana. Dan saya juga berniat baik, mohon saya dapat dibantu dalam penyelesaian perkara ini yang sudah berlarut-larut selama 13 tahun tidak kunjung selesai,” pinta Herman Djaya. (LM- 025)