Pemerintah Harus Turun Tangan, Nelayan Tradisional Terjerat Hutang

Ekonomi, Opini316 Dilihat


Oleh : M.Sontang Sihotang (Kepala Biro Langkat)

Tak banyak yang tahu, kehidupan para nelayan tradisional yang tak memenuhi kebutuhan sehari- hari. Buktinya mereka terus berhutang.

Bayangkan pendapatan mereka hanya cukup untuk makan satu hari. Besok mencari lagi.Tak bisa dipungkiri kondisi ini terjadi karena alat tangkap ikan yang masih tradisional.

Akibat pendapatan nelayan minim mau tak mau mereka terpaksa mengutang ke sana kemari untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi keluarganya.

Para nelayan yang bertahan hidup bekerja pada juragan menjadi buruh (awak yang menumpang kapal) di Desa Medang, Lalang dan Pakam Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara.

. “Mereka berutang hampir setiap berangkat ke laut. Kalau mau pergi ke laut, pasti berhutang perbekalan,” kata Dara Aisyah sewaktu melakukan wawancara di beberapa rumah nelayan di 3 desa (Medang, Lalang dan Pakam), termasuk dengan Pejabat Kepala Desa Medang Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara, Rijal,SE

Seperti dituturkan nelayan, Nukman dan Ely di kediamannya, belanja BBM (Bahan Bakar Minyak), es, rokok, kopi, gula, beras, mie instant, serta telur rata-rata mencapai Rp 300.000. “Ini kami utang duluan,” katanya.

Dari angka tersebut dibagi 6 orang perkapal.Setelah pulang melaut, ikan diserahkan pada tokeh, dengan harga rendah (ditentukan oleh tokeh).

Misalnya harga ikan gembung 1 kg di beli dari nelayan seharga Rp 4000 – Rp 8000. Manakala harga pasar 1 kg di jual tokeh senilai Rp 20.000 sampai Rp 25.000.

Nelayan tidak boleh menjual ikan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan pasar.
Semua perolehan ikan harus diserahkan kepada Tokeh. Hanya tokeh yang menentukan harga dan menjualnya di pasar.

Dengan penetapan harga rendah dari tokeh, maka nelayan mengaku tak bisa untung. Bahkan kerap kali nelayan nombok. Apabila pergi dengan berhutang perbekalan, namun pulang tak dapat membawa ikan, akibat naik pasang laut sewaktu berangkat.

Para istri nelayan tradisional berteriak, karena belanja makan sehari (Rp 50.000 – Rp 70.000) tak dapat terpenuhi. Akibatnya mereka harus berhutang ke warung.

Hampir setiap hari berhutang, nelayan berhutang kepada tokeh manakala para istri di rmah berhutang ke warung. Kondisi ini terjadi karena para keluarga nelayan tradisional, tak punya pilihan lain. “Jika tak ngutang maka tak makan,” katanya.

Para istri mengaku suaminya terus terjerat hutang yang semakin menumpuk. Mereka bingung bagaimana membayar semuanya. Kalau tak melaut maka tak ada penghasilan.
Sementara tokeh memiliki semuanya (kapal, beserta alat penangkapan ikan. Soalnya perbekalan ke laut semua harus di tanggung oleh nelayan tradisional. Mereka mengaku bekerja hanya menumpang kapal tokeh

Nelayan tradisional di 3 desa yang di pilih untuk kajian Talenta USU adalah Kawasan teramai nelayan tradisional termasuk nakhoda dan buruh atau awak kapal yang hanya menumpang kapal tokeh.

Mereka juga disebut buruh nelayan yaitu warga Desa Medang (Dusun Kuala Sipare dan Pematang Eru), Desa Lalang (Dusun Sono) serta Desa Pakam (Dusun Benteng dan Pematang Pasir).

Para Nelayan tradisional di kawasan tersebut, belum tersentuh dengan bantuan. Bahkan belum ada program yang diberikan untuk keperluan nelayan. Tidak pernah dapat bantuan kapal dan alat tangkap. Mereka hanya mengandalkan pinjaman dari tokeh.

Sebagai timbal baliknya, nelayan akan membayar pinjaman dengan cara menjual hasil tangkapannya kepada tokeh. Akibatnya terbangun monopoli pemasaran ikan karena adanya relasi ketergantungan kepada para tokeh.

“Hal ini menyebabkan nelayan merugi terus,” papar Tim peneliti Rekayasa Sosial (Social Engineering) TALENTA USU dalam siaran pers kepada media ini, Senin 27/9/2021.

Kegiatan ini menitikberatkan pada tujuh bidang potensial seperti Tropical Science and Medicine, Agroindustry, Local Wisdom, Energy, Natural Resources, Technology dan Arts atau dengan akronim TALENTA .

Manajemen tata kelola Universitas Sumatera Utara (USU) diharapkan sejalan dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Kegiatan ini pula dilakukan dalam rangka memenuhi tugas yaitu salah satu pilar risetnya merancang bangun (design) Sistem Informasi Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan dan Keperluan nelayan untuk penentuan peserta program pemerintah agar lebih tepat sasaran.

Program ini Berbasis GIS (Geographic Information System) yang dapat membantu pemerintah membuat program melalui Website / Portal Nelayan Tradisional.

Menurut Hasil Kajian Tim Rekayasa Sosial Talenta USU yang diketuai oleh Dra.Dara Aisyah, M.Si., PhD. (dosen FISIP USU) dan anggota Muhammad Sontang Sihotang, S.Si, M.Si, Ph.D (dosen FMIPA USU) mendapati bahwa, para nelayan tradisional di 3 desa tersebut, ditemukan memiliki ketergantungan kepada para tokeh.

Tim menyimpulkan, ketika nelayan kehabisan perbekalan untuk melaut akibat pendapatan tidak sebanding dengan hasil tangkap, apalagi akibat cuaca buruk, maka tokeh menjadi tempat mereka memperoleh pinjaman perbekalan. Bahkan beberapa nelayan mesti meminjam uang tunai kepada tokeh untuk membeli BBM setiap kali melaut.

Terjadinya jeratan hutang akibat hasil penjualan ikan rendah. Hal ini disebabkan karena terjadi pasar perdagangan ikan yang monopolistik. Akibat seringnya nelayan melakukan pendaratan ikan pada malam hari, sehingga para nelayan lebih memilih menjual ikannya kepada tokeh, ketimbang ke TPI di siang hari.

Nelayan Pematang Pasir mengatakan bahwa mereka harus langsung menyerahkan ikan ke tokeh, TPI tidak ada lagi, karena letaknya terlalu jauh kata tokeh, sehingga tokeh tak mau lagi di TPI.

Semua ketentuan pendaratan ikan yang mengatur tokeh, katanya. Tokeh yang menyediakan pekarangannya, apalagi fasilitas TPI belum memiliki fasilitas cool room untuk membuat ikan yang di tangkap malam hari, bisa tetap segar hingga siang harinya.

Para nelayan ketika mendarat, harus membayar hutang perbekalan, yang di pinjam dari tokeh, sehingga secara otomatis, mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada tokeh, meski haganya lebih murah dibandingkan di jual ke TPI atau pasar.

Harga tidak di atur pemerintah dalam sistem pemasaran ikan. Semua cerita nelayan ini menimbulkan tanda tanya dimana Pemerintah ?. Seharusnya pemerintah berada di dekat nelayan, melayani mereka, sekaligus memutus rantai kesusahan mereka.

Jika pemerintah tidak turun tangan, relasi ketergantungan ini, semakin menjerat nelayan sebab banyak dari mereka yang tidak mengetahui sampai kapan dapat melunasi hutangnya. Para awak nelayan, hanya tahu berapa sisa hutangnya dari nakhoda kapal yang mendapat informasi dari tokeh, tanpa adanya transparansi catatan jumlah pinjaman dan angsuran pembayaran yang dilakukan.

Dengan demikian, situasi seperti ini akan terus menyulitkan para nelayan tradisional untuk keluar dari jurang kemiskinan. Kompleksnya masalah yang dihadapi para nelayan tradisional ini, membuat profesi ini berpotensi untuk ditinggalkan oleh generasi berikutnya.

Sungguh disayangkan, padahal selain memasok kebutuhan protein hewani bagi 50 % penduduk Indonesia, para nelayan ini juga merupakan garda terdepan bagi keseimbangan ekosistem pesisir di tengah lajunya perubahan iklim dan eksploitasi alam di pesisir.

Pertanyaannya dimana Pemerintah dalam memutus mata rantai tersebut ?. Kemana nelayan harus mengadu agar terlepas dari jeratan hutang tokeh ?. Bagaimana kondisi laut kita tanpa nakhoda dan awak nelayan di dalamnya ?. Semoga pemerintah dapat menjalankan amanah dalam membantu menyelesaikan masalah nelayan tradisional. Soalnya kondisi semacam ini sudah berlangsung sekitar 40 tahun yang lalu.* (LM-101)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *